Alquran Tulisan Tangan Berusia 2 Abad, Jejak Sejarah Penyebaran Islam Di Lereng Gunung Lawu

Bramantyo ยท Senin, 19 April 2021 - 22:40 WIB
Alquran Tulisan Tangan Berusia 2 Abad, Jejak Sejarah Penyebaran Islam Di Lereng Gunung Lawu
Alquran yang ditulis langsung oleh Syekh Hasan Tafsir ulama yang berperan mengembangkan agama Islam di kawasan lereng Gunung Lawu. Foto: Okezone/Bramantyo.

KARANGANYAR, iNews.id - Proses penyebaran agama Islam di Kabupatan Karanganyar tidak lepas dari peran Syekh Hasan Tafsir. Pria yang konon berasal dari Jawa Timur, memiliki peran dalam proses penyebaran agama Islam di lereng Gunung Lawu

Jejak sejarah Syekh Hasan Tafsir dapat dilihat di Dusun Sintru, Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Daerah ini terletak di kawasan lereng Gunung Lawu. Dari desa ini, terdapat rekam jejak masuknya Islam di Karanganyar awal tahun 1.800.

Bukti-bukti yang menunjukkan penyebaran Islam masuk di Karangnyar masih ada hingga kini. Masjid yang konon didirikan Syekh Hasan Tafsir juga masih ada di tengah permukiman warga. Selain itu juga terdapat bebarapa situs bangunan yang menjadi saksi sejarah perkembangan Islam di daerah Karanganyar.

Keturunan generasi keempat dari Syekh Hasan Tafsir, Sulaiman Abdul Aziz mengatakan, dahulu masyarakat menyebut ajaran Islam yang  berkembang, sebagai agama pengganti ajaran Kejawen yang semula dianut warga sekitar pada saat itu. 

Meski masih keturunan dari Syekh Hasan Tafsir, namun Sulaiman mengaku tak tahu persis kapan kakek moyangnya tinggal di dusun Sintru. Sebab tidak ada keterang resmi menyangkut asal-usul dari Hasan Tafsir. Sulaiman mengetahui cerita dari orang tuanya bila Hasan Tafsir adalah seorang ulama besar dari Timur Tengah yang terdampar di daerah Matesih.

Matesih itu sendiri dulunya masih berwujud hutan belantara. Penduduknya kala itu masih didominasi penganut agama Hindu. Lewat sentuhan dan kesabarannya dalam berdakwah, Hasan Tafsir berlahan mampu menyebarkan agama Islam. Saat menetap, ulama ini mendirikan sebuah masjid di Dusun Sintru. 

Masjid Nurul Huda, didirikan untuk menarik perhatian warga sekitar agar mau datang belajar agama serta menjalankan ibadah salat lima waktu. Awalnya masjid didirikan tidak jauh dari makam Hasan tafsir. Namun dengan berjalannya waktu, masjid mengalami perpindahan sebanyak tiga kali dari tempat awalnya.

Meskipun sudah mengalami perpindahan, namun bentuk masjid itu tidak pernah berubah hingga sekarang. Hanya bedanya dulu berupa dinding bambu, namun sekarang sudah diganti dengan semen.

"Masjid sudah tiga kali dipindah. Soalnya jumlah jamaahnya terus bertambah,sehingga membutuhkan lokasi yang lebar,"kata Sulaiman, Senin (19/4/2021).

Upaya mendirikan masjid yang dilakukan cukup berhasil. Sehingga mampu membawa masyarakat bersedia masuk dan menjalankan ibadah sesuai ajaran agama Islam. Lama-kelamaan, jumlah orang yang mengaji semakin banyak. 

Akhirnya sang ulama mendirikan pesantren yang tidak jauh dari lokasi masjid. Pesantren yang didirikan berkembang pesat. Jumlah santrinya juga cukup banyak, berasal dari berbagai lokasi di wilayah Karangpandan dan sekitarnya.

Para santri dari Syekh Hasan Tafsir yang kemudian menjadi pemuka agama di daerah asal masing-masing. Ada juga yang menjadi guru ngaji di sekitar Karangpandan, lalu menurunkan ilmu agama kepada masyarakat.

Selain makam dan masjid, bukti lainnya yang menunjukkan penyebaran Islam di tempat itu adalah ayat suci Alquran yang ditulis langsung oleh Hasan Tafsir di atas kulit hewan. Sayangnya Alquran kuno yang diperkirakan berusia dua abad lebih, sebagian dimakan rayap dan banyak bagian lainnya diambil oleh orang-orang.

Selain Alquran tulisan tangan, bukti lainnya yang masih tersimpan di masjid tersebut adalah sejumlah buku. Antara lain catatan perjalanan Islam, ajaran agama serta ilmu pengobatan. Buku-buku ini memakai huruf Arab Jawa. 

Dijelaskannya, masuknya Islam di daerah ini sekitar tahun 1800 hingga 1940. Pada tempat ini pula, dulunya didirikan pondok pesantren. Sayangnya, Sejak meninggalnya Hasan Tafsir maupun Imam Mubarok yang menjadi alim ulama, sekitar tahun 1950 pondok pesantren sudah tidak ada bekasnya. Bangunan-bangunan tersebut berganti dengan permukiman penduduk.

"Namun hingga kini, buku peninggalan berisi catatan perjalanan Islam di tahun 1800 masih terus dipelajari sejumlah santri-santri dari sebuah ponpes di Ngawi,” ujarnya. 


Editor : Ary Wahyu Wibowo

Follow Berita iNews di Google News