skin ads
skin ads
Hikmah

Cara Membayar Sholat dan Puasa Orang Meninggal

Kastolani Marzuki · Senin, 16 Mei 2022 - 18:51 WIB
Cara Membayar Sholat dan Puasa Orang Meninggal
Cara mengganti sholat dan puasa di Bulan Ramadhan bagi orang meninggal dalam islam. (Foto: Freepik)

JAKARTA, iNews.id - Mengerjakan sholat dan puasa di Bulan Ramadhan merupakan rukun Islam dan wajib hukumnya bagi tiap Muslim yang sudah akil dan balig. Bagi yang lalai mengerjakannya karena uzur syar'i diharuskan untuk segera meng-qadha atau menggantinya.

Lalu, bagaimana cara membayar sholat dan puasa bagi orang yang sudah meninggal, apakah ada ketentuannya?  

Sebagaimana diketahui, Sholat fardhu hukumnya wajib bagi tiap Muslim. Sholat bukan hanya rutinitas ibadah yang dikerjakan lima waktu dalam sehari. Sebab, shalat menjadi bukti keimanan dan ketaatan seorang Muslim dalam menjalankan perintah Allah SWT. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman:

فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا 

Artinya: “Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. al-Nisa’ [04]: 103)

Tim asatidz Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Isnan Anshory mengatakan, ibadah sholat yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal semasa hidupnya menurut para ulama atau jumhur ulama sepakat bahwa hal itu tidak boleh diwakilkan kepada orang lain semasa hidupnya berdasarkan firman Allah SWT:

وَأَنْ لَيْسَ لِلإْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS. An Najm: 39).

Dan sabda Rasulullah SAW:

لاَ يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلاَ يُصَلِّ يأَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ

“Tidak boleh seseorang puasa untuk orang lain dan tidak boleh pula seseorang shalat untuk orang lain.” (HR. Abd Razzaq dan Malik dari Ibnu Umar).

Namun para ulama menambahkan bahwa larangan dalam hadits ini terkait pembebasan dari beban syariat bukan pemberian pahala ibadah kepada orang lain.

Jika yang bersangkutan telah meninggal maka menurut ulama kalangan Al Hanafiyyah, Al Malikiyyah, dan Asy Syafi’iyyah (jumhur ulama) hukumnya tetaplah sama sebagaimana ia hidup yakni, sholatnya tidak boleh diwakilkan atau diqadha’ oleh orang lain.

Mayoritas ulama yang melarang membayar sholat orang meninggal beralasan bahwa mengqadha’ sholat orang yang telah meninggal menafikan fungsi dari ibadah itu sendiri. Sebagaimana penjelasan imam Asy Syatibi dalam Al Muwafaqat (2/167).

“Sesungguhnya tujuan dari ibadah adalah ketundukan kepada Allah, menghinakan diri dihadapan-Nya, tunduk taat pada hukum-Nya, serta memenuhi hati dengan zikir kepada-Nya, hingga seorang hamba dapat merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dengan hati dan anggota badannya serta tidak lalai dari-Nya".

Dan selalu berusaha mengharapkan keridhoannya serta mendekatkan dirinya kepada Allah sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan an niyabah (mewakilkan ibadah kepadaorang lain) menafikan tujuan ini bahkan bertentangan dengannya…” (lihat juga: Fath Al Qadir 2/359, 360, Al Majmu’ 6/372, Nihayah Al Muhtaj 2/187, Al Muntaqa 2/63, Bidayah Al Mujtahid 1/320, I’lam Al Muwaqqi’in 4/390).

Namun kalangan Al Hanafiyyah berpendapat jika sang mayit yang memiliki kewajiban mengqadha’ shalat sebelum meninggalnya berwasiat kepada wali atau ahli warisnya untuk mengqadha’ shalatnya dengan kaffarat maka wajib bagi mereka untuk melaksanakan wasiat tersebut berupa ½ sho’/2 mud/12 ons dari makanan pokok atas setiap shalat yang ditinggalkan.

Adapun kaffarat itu hanya bisa diambil dari 1/3 harta yang ditinggalkannya sebagaimana ketentuan hukum wasiat yang hanya dibolehkan berwasiat maksimal 1/3 hartanya. Akan tetapi jika sang mayit tidak pernah berwasiat untuk melakukan itu maka gugurlah kewajiban shalat tersebut karena sebuah uzur (kematian). (Radd Al Mukhtar 1/237).

Sedangan sebagian kalangan Syafi’iyyah –pendapat yang tidak masyhur dalam mazhab– berpendapat bahwa wali mayit hendaknya memberikan fidyah atas setiap shalat yang ditinggalkan sebanyak satu mud/6 ons dari makanan pokok. (Nihayah al Muhtaj wa Hasyiah Asy Syibramalisi ‘alaihi 3/188).

Sedangkan kalangan Al Hanabilah membedakan antara shalat fardhu dan shalat nadzar. Untuk shalat fardhu mereka berpendapat bahwa tidak dibolehkan an niyabah/mewakilkan shalat wajib atas mayit sebab shalat wajib tidak dapat diwakilkan semasa hidupnya demikian pula setelah ia meninggal.

Adapun jika shalat nadzar, maka jika ia tidak mampu melakukannya karena sebuah udzur lalu meninggal maka tidak perlu dibayar oleh ahli warisnya sedangkan jika pada asalnya ia mampu melakukan namun belum dilakukan hingga meninggal maka disunnahkan bagi ahli warisnya untuk membayar nazarnya. Dan diperbolehkan pula bagi selain wali mayit membayar nadzarnya dengan izin atapun tanpa izin dari mayit semasa hidupnya. (Syarh Muntaha Al Iradat 1/121, 417, 418, 457, 458, Al Mughni 9/31).

Bagaimana dengan cara membayar puasa orang meninggal?

Mayoritas ulama mengatakan, bahwa hutang-hutang puasanya itu terhapus dengan sendirinya. Serta tidak pula wajib atas walinya mengqadha’ puasanya atau membayarkan fidyah atasnya. Namun dengan syarat ia memiliki ’uzur untuk tidak mampu mengqadha’nya semasa hidup.

Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, ”Jika aku memerintahkan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah). Dan karena puasa adalah haq Allah yang mesti dilakukan orang yang bersangkutan akan tetapi jika ia meninggal maka gururlah kewajiban atas dirinya dan walinya sebagaimana dalam perkara haji (badal haji).

Sedangkan Thawus dan Qatadah berpendapat akan wajibnya membayar fidyah atas walinya, sebab puasa yang dilakukan adalah puasawajib yang gugur kewajibannya kerena ketidak mampuan maka wajib baginyamembayar fidyah sebagaimana orang tua yang tidak berpuasa karena ketidakmampuan melakukannya. (Badai’ 2/103, Al Qawanin Al Fiqhiyyahh.110, Al Majmu’ 6/372, Al Mughni 3/142, Mughni Al Muhtaj 1/438).

Bila orang itu memiliki kesempatan untuk mengqadha’, namun belum sempat membayar hutang puasanya, kemudian dia meninggal dunia, para ulama berbeda pendapat tentang hukum membayar puasanya, apakah keluarganya harus berpuasa qadha’ untuk mengganti hutang puasa almarhum, ataukah cukup dengan membayar fidyah saja?

Dalam hal ini ada dua pendapat di antara ulama:

Pendapat pertama: Al Hanafiyyah, Al Malikiyyah, pendapat terkuat kalangan Al Hanabilah dan As Syafi’iyyah, mereka berpendapat bahwa keluarganya tidak wajib mengqadha’ puasanya. Kerena puasa Ramadhan merupakan kewajiban yang memiliki landasan syar’i yang tidak boleh diqadha’ orang lain serta tidak boleh diwakilkan pelaksanaannya pada orang lain ketika almarhum hidup atau setelah meninggal seperti ketentuan dalam shalat. (Lihat: Fath AlQadir wa Al ’Inayah 2/351, 352, 358, 359, Al Majmu’ 6/368-372, AlMughni4/398, Nihayah Al Muhtaj 3/184, Bidayah Al Mujtahid1/299, I’lam Al Muwaqqi’in 4/390, Al Muntaqa 2/36).

Kemudian di antara ulama' pendapat pertama ini berbeda pendapat tentang kewajiban yang dibebankan kepada wali atau keluarga almarhum atas qadha’ puasa yang belum dibayarnya:

Kalangan Al Hanafiyyah dan Al Malikiyyah berpendapat bahwa tidak wajib bagi mereka membayar fidyah atas almarhum kecuali jika almarhum mewasiatkan hal tersebut. Maka fidyah itu mesti dibayar dari 1/3 harta yang ditinggalkan almarhum.

Sedangkan kalangan Hanabilah dan pendapat masyhur As Syafi’iyyah wajib bagi wali atau keluarganya mengeluarkan fidyah, berdasarkan wasiat almarhum maupun tidak. Pendapat ini diriwayatkan pula dari Aisyah RA dan Ibnu Abbas RA, serta ulama lainnya seperti Al Laits, Al Awza’i, Ats Tsauri, Ibnu ’Aliyyah, Abu Ubaid dll. (Al Mughni 4/398, Bidayah Al Mujtahid1/299, 300, Al Majmu’ 6/368, 398, 371, Al Muntaqa 2/63, FathAl Qadir ma’a Al ’Inayah 2/352, 353, 357, 358, Al Muwafaqat 2/174).

Pendapat kedua: pendapat imam Syafi’i yang lama (dalam kitab Al Hujjah) dan pendapat yang dipilih imam An Nawawi (muhaqqiq mazhab) serta pendapat Abu Al Khaththab Al Hanbali bahwa boleh (tidak wajib) bagi walinya mengqadha’ puasa yang belum dibayar atau menggantinya dengan fidyah berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA :

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuk membayarkan hutangnya.” (HR.Bukhari dan Muslim). (Al Majmu’ 6/368, 369, 372, Al Mughni 4/398, Nihayah Al Muhtaj 3/14).

Wallahu a’lam


Editor : Kastolani Marzuki

Follow Berita iNews di Google News