skin ads
skin ads

Hukum Potong Rambut Saat Puasa Ramadhan: Boleh atau Membatalkan?

Komaruddin Bagja · Senin, 03 Maret 2025 - 16:20 WIB
Hukum Potong Rambut Saat Puasa Ramadhan: Boleh atau Membatalkan?
Hukum Memotong Rambut saat Puasa Ramadhan  (Foto: MPI)

JAKARTA, iNews.id - Pertanyaan tentang hukum potong rambut saat puasa Ramadhan sering muncul. Apakah tindakan ini diperbolehkan atau justru membatalkan puasa? 

Hukum Memotong Rambut saat Puasa Ramadhan 

Pada dasarnya, memotong rambut saat puasa Ramadhan adalah mubah atau diperbolehkan. Tidak ada dalil yang secara spesifik melarangnya. Memotong rambut tidak termasuk dalam hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, atau berhubungan suami istri.

Dilansir dari Islamway, Syaikh Abdul Aziz bin Baz Mufti Kerajaan Arab Saudi menjelaskan bahwa memotong rambut, kuku, atau bulu kemaluan tidak membatalkan puasa. 

Batasan Memotong Rambut yang Haram

Di luar bulan Ramadhan mencukur rambut meski diperbolehkan, ada batasan tertentu yang membuat potong rambut menjadi haram:

  • Jika wanita berhias diri di depan bukan mahram.
  • Menyerupai gaya orang kafir.
  • Model qaza (sebagian rambut dicukur habis dan sebagian dibiarkan panjang) bagi laki-laki.
  • Istri memotong rambut tanpa izin suami.

Hal yang Membatalkan Puasa

Selain memahami hukum potong rambut saat puasa Ramadhan, penting juga mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa, berikut beberapa hal yang membatalkan puasa:

  1. Makan
  2. Minum
  3. Hubungan badan (jima’)

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَٱشْرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلأسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

(QS. Al-Baqarah: 187)

Artinya: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam."

Ayat ini menunjukkan bahwa makan, minum, dan hubungan badan diperbolehkan di malam hari Ramadhan. Selanjutnya, perintah untuk menyempurnakan puasa hingga malam hari mengimplikasikan larangan melakukan tiga perbuatan tersebut di siang hari.

Ibnul Mundzir menyatakan:

لم يختلف أهل العلم أن الله عز وجل حرَّم على الصائم في نهار الصوم الرفث وهو الجماع والأكل والشرب

"Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa Allah mengharamkan bagi orang yang berpuasa untuk melakukan rafats (jima’, makan, dan minum) di siang hari." (Al-Ijma’, Ibnul Mundzir, hlm. 59)

Ibnu Qudamah menjelaskan:

يفطر بالأكل والشرب بالإجماع، وبدلالة الكتاب والسنة

"Puasa batal karena makan dan minum berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama), serta dalil dari Al-Quran dan Sunnah." (Al-Mughni, 3/119)

Lebih lanjut, Ibnu Qudamah menyatakan:

لا نعلم بين أهل العلم خلافاً في أنّ من جامع في الفرج فأنزل، أو لم ينزل، أو دون الفرج فأنزل، أنه يفسد صومه

"Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa seseorang yang melakukan hubungan badan pada kemaluan, baik keluar mani atau tidak, atau di selain kemaluan kemudian keluar mani, maka puasanya batal." (Al-Mughni, 3/134)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menyampaikan pernyataan ijma’:

ما يفطر بالنصٍّ والإجماع وهو: الأكل والشرب والجماع

"Sesuatu yang membatalkan puasa berdasarkan nash (dalil) dan ijma’ adalah: makan, minum, dan hubungan badan." (Majmu’ Fatawa, 25/219)

4. Haid (menstruasi)

5. Nifas (darah yang keluar setelah melahirkan)

Berdasarkan hadis dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

(HR. Bukhari 304)

Artinya: "Bukankah ketika wanita sedang haid dia tidak boleh shalat dan puasa?"

Ibnu Qudamah menjelaskan:

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم، وأنهما يفطران رمضان ويقضيان، وأنهما إذا صامتا لم يجزئهما الصوم

"Ulama sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak diperbolehkan berpuasa. Mereka harus berbuka di bulan Ramadhan dan mengqadha'nya di hari lain. Jika mereka tetap berpuasa, puasanya tidak sah." (Al-Mughni, 3/152)

Syaikhul Islam juga menegaskan adanya ijma’:

وكذلك ثبت بالسنة واتفاق المسلمين أنّ دم الحيض ينافي الصوم، فلا تصوم الحائض، لكن تقضي الصوم

"Demikian pula terdapat dalil dari Sunnah dan kesepakatan kaum Muslimin, bahwa keluarnya darah haid menafikan (membatalkan) puasa. Oleh karena itu, wanita haid tidak boleh berpuasa, namun wajib mengqadha' puasanya." (Majmu’ Fatawa, 25/220)

Di tempat lain dalam Majmu’ Fatawa, beliau juga menegaskan:

وخروج دم الحيض والنفاس يفطر باتفاق العلماء

"Keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan ulama." (Majmu’ Fatawa, 25/267)

6. Murtad (keluar dari agama Islam)

Allah berfirman:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

(QS. Al-Baqarah: 217)

Artinya: "Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya (Islam), lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."

Ibnu Qudamah menyatakan:

لا نعلم بين أهل العلم خلافاً في أنّ من ارتد عن الإسلام في أثناء الصوم أنه يفسد صومه، وعليه قضاء ذلك إذا عاد إلى الإسلام، سواءٌ أسلم في أثناء اليوم أو بعد انقضائه…

"Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama bahwa orang yang murtad dari Islam ketika sedang berpuasa maka puasanya batal, dan dia wajib mengqadha' puasa tersebut jika dia kembali masuk Islam, baik masuk Islam di hari murtadnya atau di hari yang lain..." (Al-Mughni, 3/133)

7. Muntah dengan Sengaja

Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَإِنْ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

(HR. Abu Daud 2380 dan dishahihkan Al-Albani)

Artinya: "Siapa yang muntah tidak sengaja dan dia sedang puasa maka tidak perlu dia qadha. Namun barangsiapa yang sengaja muntah maka dia harus mengqadha."

Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ijma’ mengatakan:

وأجمعوا على إبطال صوم من استقاء عامداً

"Para ulama sepakat bahwa puasa orang yang muntah dengan sengaja statusnya batal." (Al-Ijma’, 49)

Inilah pendapat ulama dari empat mazhab, meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai rincian muntah yang membatalkan puasa, seperti ukuran muntah yang dianggap membatalkan.

Menurut Abu Yusuf, muntah yang membatalkan adalah muntah yang volumenya memenuhi mulut. Jika kurang dari itu, puasanya tidak batal karena tidak dianggap sebagai muntah. (Al-Hidayah, 1/120)

Sementara itu, terdapat tiga riwayat yang berbeda dari Imam Ahmad:

  1. Muntah dengan sengaja membatalkan puasa, baik sedikit maupun banyak.
  2. Muntah tidak membatalkan puasa, kecuali jika volumenya memenuhi mulut.
  3. Muntah tidak membatalkan puasa, kecuali jika banyaknya mencapai setengah mulut.
  4. Riwayat pertama dianggap lebih kuat berdasarkan makna umum dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.


Sebagai kesimpulan, hukum potong rambut saat puasa Ramadhan adalah boleh selama tidak melanggar batasan-batasan syariat. Umat Islam dianjurkan untuk tetap menjaga kebersihan dan kerapian diri selama berpuasa. Dengan memahami hukum ini, diharapkan umat Muslim dapat menjalankan ibadah puasa dengan tenang dan khusyuk.


Editor : Komaruddin Bagja

Follow Berita iNews di Google News