JAKARTA, iNews.id - Momen mudik merupakan salah satu tradisi yang dilakukan masyarakat Indonesia jelang Lebaran atau hari raya Idulfitri. Bahkan, tradisi ini tidak bisa digantikan dengan teknologi komunikasi sekalipun.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (UI), Ngatawi Al Zastrouw. Menurutnya masyarakat desa yang melakukan urbanisasi ke kota tidak bisa melepas budaya desanya begitu saja.
Mereka akan selalu merindukan kampung halaman dan sanak keluarganya. Adapun, cara melepaskan kerinduan itu dibayar saat pelaksanaan Idulfitri.
Bahkan, kata Zastrouw, tradisi mudik tidak akan dapat digantikan dengan kecanggihan teknologi komunikasi. Sebab, ada dimensi afeksi yang kuat saat mudik dilaksanakan.
"Teknologi hanya memenuhi aspek kognitif, tetapi tidak dapat memenuhi aspek afektif. Hal inilah yang menyebabkan tradisi mudik terus bertahan meski sudah ada teknologi komunikasi yang canggih sekalipun,” kata Zastrouw dikutip iNews.id, Kamis (24/4/2023).
Mudik sebagai Terapi Psikologis
Tradisi mudik juga dapat bertahan karena memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional masyarakat. Kesibukan atas pekerjaan sehari-hari di perkotaan juga menjadikan mudik sebagai terapi psikologis.
Zastrouw menjelaskan dibutuhkan momentum untuk membendung emosi atas kejenuhan yang dirasakan. Oleh karena itu, mudik menjadi salah satu solusi dari masalah tersebut.
Tak cuma itu, mudik juga merupakan aktivitas traveling massal. Sebab, seluruh moda transportasi digunakan, seperti mobil pribadi, pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus, hingga motor.
"Dengan kata lain, tradisi mudik menjadi momentum healing masyarakat modern. Inilah yang membuat tradisi ini tidak luntur digerus arus modernisasi, karena dapat menjadi kanalisasi atas residu budaya modernisasi,” ujar dia.
Editor : Puti Aini Yasmin
Follow Berita iNews di Google News