JAKARTA, iNews.id - Selain Rukyatul Hilal, metode penentuan awal bulan atau bulan baru dalam Islam termasuk menentukan awal Bulan Ramadhan yakni hisab. Pengertian hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam penentuan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.
Dalam dunia Islam istilah (terminologi) hisab sering digunakan dalam ilmu falak untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap Bumi. Karena posisi matahari menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu sholat. Sementara posisi bulan digunakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriyah.
Dalil metode hisab:
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti pelapah yang tua” (QS 36:39).
اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ
Artinya: Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. (QS. Ar Rahman: 5)
Ustaz Muhammad Saiyid Mahadlir menjelaskan, metode penentuan awal Ramadhan dengan hisab bukanlah sesuatu yang tercela, bahwa memang dahulunya ada sebagian ulama yang menilai ilmu hisab seperti ini adalah ilmu yang terlarang, namun ilmu hisab yang dimaksud oleh para ulama itu adalah ilmu perbintangan yang biasa digunakan oleh para normal untuk mengetahui perkara ghaib. Tentunya untuk ilmu perdukunan tersebut semua ulama menyepakati ketidakbolehannya.
Adalah Mutharrif bin Abdillah seorang pembesar tabiin yang memulai memberikan pendapat tentang penggunaan ilmu hisab setelah memahami hadits Rasulullah SAW yang menyatakan; “Jika bulan tidak terlihat, maka taqdirkanlah”. Kata “faqdurulah” ditafsirkan dengan: قدروه بحسب المنازل. (perkirakanlah dengan ilmu hisab), dan yang senada juga diaminkan oleh Abu Al-Abbas bin Suraij, salah satu pembesar ulama Syafiyah.
Sebagian ulama yang mendukung metode ini menilai bahwa observasi mata yang dilukan oleh masyarakat terdahulu didasari atas kenyataan bahwa dahulunya belum ada orang yang memumpuni untuk melakukan penghitungan dengan ilmu pengetahuan.
Prase yang diungkap Rasulullah SAW: “bahwa kami ini adalah ummat yang tidak bisa membaca dan berhitung” dinilai sebagai illah (alasan) keberadaan observasi mata (rukyat) sebagai penanda awal Ramadhan yang Rasulullah SAW sabdakan.
"Dengan kondisi ummat seperti itu sangat wajar jika pilihannya hanya rukyat saja, karena inilah yang dimampu oleh mereka. Tidak masuk akal jika malah dengan kenyatakan seperti itu Rasulullah SAW malah memerintahkan untuk menggunakan ilmu hisab," kata Ustaz Saiyid dikutip dari lama rumahfiqih.com..
Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diikuti dengan perkembangan ilmu astronomi, sehingga bisa menghitung gerak bulan dengan tingkat kesalahan yang sangat kecil, bahkan sekarang ini hasilnya nyaris tanpa salah.
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy di dalam kitabnya “Kaifa Nata’amalu Ma’a As-Sunnah” menjelaskan tentang cara memahami teks hadits melaui kaidah: التمييز بين الهدف الثابت والوسيلة المتغيرة (membedakan antara tujuan yang tetap dan wasilah atau cara yang (bisa) berubah)
Dalam hal ini beliau memberikan contoh tentang hadits puasa ramadhan dan rukyat, sabda Rasulullah SAW:
صوموا لرؤيته ـ أي الهلال ـ وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فاقدروا له
“Berpuasalah kalian dengan meliaht (bulan) dan berbukalah (berlebaran) dengan melihat bulan, jika terhalang oleh kalian melihat bulan maka taqdirkanlah”
Hadf (tujuan) utama dari hadits ini adalah hendaklah seluruh ummat Islam berpuasa penuh satu bulan pada bulan Ramadhan, dan jangan pernah meninggalkan satu haripun tanpa adanya halangan yang membolehkan baginya untuk berpuasa.
Adapun melihat bulan (rukyat) itu hanya wasilah yang sangat mungkin bisa berubah dari waktu ke waktu, jika pada zaman Rasulullah SAW wasilah yang paling mudah dilakukan hanya dengan obsevasi mata telanjang, maka sekarang observasi tentunya bisa dengan mengunakan peralatan moderen, atau bisa juga menggunkan ilmu hisab yang tingkat kesalahannya sangat minim.
Imajinasinya adalah jika dahulu masyarakat Islam sudah mengerti astronomi, kira-kira wasilah apakah yang akan direkomendasikan oleh Rasulullah SAW?
Jika berita observasi mata telanjang dari satu orang yang adil pada zaman Rasulullah SAW bisa diterima, dengan tingkat kesalahan yang besar, kiranya kurang tepat jika kita nenolak hasil hitungan dengan ilmu hisab dengan tingkat kesalahan yang minim, atau bahkan nyaris tanpa salah.
Terlebih bahwa saat ini ilmu pengetahuan ini sudah berkembang hampir diseluruh belahan bumi. Ilmu ini bukanlah ilmu yang hanya diketahui oleh segilintir orang saja. Di Indonesia ilmu ini terus berkembang, hingga kini ada dua metode besar yang sering dipakai dalam penentuan awal Ramadhan:
Wujud Al-Hilal (Keberadaan Bulan)
Ini adalah salah satu metode hisab yang digunakan oleh sebagian ormas di negara kita Indonesia, khususnya Muhammadiyah. Sederhanyan, kriteria metode Wujud Al-Hilal ini harus memenuhi tiga perkara:
1- Telah terjadi ijtimak (konjungsi),
2- Ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
3- Pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Jika dalam hitungan ilmu hisab ketiga ini sudah terpenuhi, maka bisa dipastikan bahwa pada malam tersebut sudah masuk bulan baru, dan esoknya kita sudah berpuasa, walau tanpa memperhatikan ketinggian bulan, asalkan posisinya sudah berada di atas ufuk.
Editor : Kastolani Marzuki
Follow Berita iNews di Google News