JAKARTA, iNews.id - Umat Islam di Indonesia tahun ini kemungkinan akan mengalami perbedaan dalam menjalankan awal puasa Ramadhan 2022 / 1443 H. Hal itu terjadi karena perbedaan metode dalam menentukan awal 1 Ramadhan yakni metode hisab dan rukyat.
Apa perbedaan metode hisab dan rukyat dalam menentukan awal 1 Ramadhan? Berikut penjelasannya.
Ustaz Ahmad Zarkasih Lc dalam bukunya Bekal Ramadhan menjelaskan, untuk menentukan awal Ramadhan, ulama menetapkan dengan dua cara yakni dengan metode Rukyat atau biasa dengan sebutan yang lebih lengkap rukyatul Hilal, juga dengan cara melengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.
Metode Rukyat
Rukyat berarti melihat dengan mata, dan hilal yang berarti bulan sabit. Disebut bulan sabit karena yang dilihat adalah keberadaan bulan di awal yang bentuknya masih sabit, belum terlihat bulat dari bumi.
Penentuan awal bulan Ramadhan adalah jika hilal sudah terlihat di tanggal 29 Sya’ban, sesaat setelah terbenamnya matahari.
Melakukan rukyatul hilal adalah cara yang disyariatkan di dalam agama dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
صوموا لرؤيته ـ أي الهلال ـ وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فاقدروا له
“Berpuasalah kalian dengan meliaht (bulan) dan berbukalah (berlebaran) dengan melihat bulan, jika terhalang oleh kalian melihat bulan maka taqdirkanlah.”
2. Ikmal
Ikmal atau istikmal adalah menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari, pada saat hilal tidak nampak di tanggal 29 Sya’ban itu.
Ini diambil jika memang kondisi langit ketika itu tidak memungkinkan untuk kita melihat hilal. Entah karena awan gelap, cuaca mendung atau bahkan hujan lebat. Maka, yang dilakukan ketika itu adalah melengkapi bilangan bulan sya’ban sebanyak 30 hari. Nabi SAW telah bersabda soal ini: "Bila tidak nampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya‘ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan sebagai berikut:
“Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah menyambut bulan baru.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)
Jadi bulan Sya'ban digenapkan bilangannya menjadi 30 hari. Dan inilah pendapat kebanyakan para ulama (jumhur) sepanjang masa
3. Metode Hisab
Pengertian metode hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam penentuan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.
Tim Asatidz Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Muhammad Saiyid Mahadlir menjelaskan, dalam dunia Islam istilah (terminologi) hisab sering digunakan dalam ilmu falak untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi.
Karena posisi matahari menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu sholat. Sementara posisi bulan digunakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriyah.
Dalil metode hisab:
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti pelapah yang tua” (QS 36:39).
اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ
Artinya: Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. (QS. Ar Rahman: 5)
Mahadlir menjelaskan, metode penentuan awal Ramadhan dengan hisab bukanlah sesuatu yang tercela, bahwa memang dahulunya ada sebagian ulama yang menilai ilmu hisab seperti ini adalah ilmu yang terlarang, namun ilmu hisab yang dimaksud oleh para ulama itu adalah ilmu perbintangan yang biasa digunakan oleh para normal untuk mengetahui perkara ghaib.
Adalah Mutharrif bin Abdillah seorang pembesar tabiin yang memulai memberikan pendapat tentang penggunaan ilmu hisab setelah memahami hadits Rasulullah SAW yang menyatakan; “Jika bulan tidak terlihat, maka taqdirkanlah”.
Kata “faqdurulah” ditafsirkan dengan: قدروه بحسب المنازل. (perkirakanlah dengan ilmu hisab), dan yang senada juga diaminkan oleh Abu Al-Abbas bin Suraij, salah satu pembesar ulama Syafiyah.
Sebagian ulama yang mendukung metode ini menilai bahwa observasi mata yang dilakukan oleh masyarakat terdahulu didasari atas kenyataan bahwa dahulunya belum ada orang yang memumpuni untuk melakukan penghitungan dengan ilmu pengetahuan.
Frase yang diungkap Rasulullah SAW: “bahwa kami ini adalah ummat yang tidak bisa membaca dan berhitung” dinilai sebagai illah (alasan) keberadaan observasi mata (rukyat) sebagai penanda awal Ramadhan yang Rasulullah SAW sabdakan.
Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diikuti dengan perkembangan ilmu astronomi, sehingga bisa menghitung gerak bulan dengan tingkat kesalahan yang sangat kecil, bahkan sekarang ini hasilnya nyaris tanpa salah.
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy di dalam kitabnya “Kaifa Nata’amalu Ma’a As-Sunnah” menjelaskan tentang cara memahami teks hadits melaui kaidah: التمييز بين الهدف الثابت والوسيلة المتغيرة (membedakan antara tujuan yang tetap dan wasilah atau cara yang (bisa) berubah)
Dalam hal ini beliau memberikan contoh tentang hadits puasa Ramadhan dan rukyat, sabda Rasulullah SAW:
صوموا لرؤيته ـ أي الهلال ـ وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فاقدروا له
“Berpuasalah kalian dengan meliaht (bulan) dan berbukalah (berlebaran) dengan melihat bulan, jika terhalang oleh kalian melihat bulan maka taqdirkanlah”
Hadf (tujuan) utama dari hadits ini adalah hendaklah seluruh ummat Islam berpuasa penuh satu bulan pada bulan Ramadhan, dan jangan pernah meninggalkan satu hari pun tanpa adanya halangan yang membolehkan baginya untuk berpuasa.
Adapun melihat bulan (rukyat) itu hanya wasilah yang sangat mungkin bisa berubah dari waktu ke waktu, jika pada zaman Rasulullah SAW wasilah yang paling mudah dilakukan hanya dengan obsevasi mata telanjang, maka sekarang observasi tentunya bisa dengan mengunakan peralatan moderen, atau bisa juga menggunkan ilmu hisab yang tingkat kesalahannya sangat minim.
Wujud Al-Hilal (Keberadaan Bulan)
Wujudul Hilal adalah salah satu metode hisab yang digunakan oleh sebagian ormas di Indonesia, khususnya Muhammadiyah. Sederhanyan, kriteria metode Wujud Al-Hilal ini harus memenuhi tiga perkara:
1- Telah terjadi ijtimak (konjungsi),
2- Ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
3- Pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Jika dalam hitungan ilmu hisab ketiga ini sudah terpenuhi, maka bisa dipastikan bahwa pada malam tersebut sudah masuk bulan baru, dan esoknya kita sudah berpuasa, walau tanpa memperhatikan ketinggian bulan, asalkan posisinya sudah berada di atas ufuk.
Demikian penjelasan mengenai metode penentuan awal 1 Ramadhan dengan metode rukyat dan hisab.
Wallahu A'lam
Editor : Kastolani Marzuki
Follow Berita iNews di Google News