Sejarah Puasa Ramadhan Pertama Kali Diwajibkan bagi Umat Islam dan Dalilnya

Kastolani Marzuki · Rabu, 30 Maret 2022 - 12:57 WIB
Sejarah Puasa Ramadhan Pertama Kali Diwajibkan bagi Umat Islam dan Dalilnya
Sejarah Puasa Ramadhan yang perlu diketahui Muslim. (Foto: Freepik)

JAKARTA, iNews.id - Puasa Ramadhan adalah puasa yang diwajibkan atas setiap muslim yang memenuhi syarat selama sebulan penuh pada Bulan Ramadhan. Kapan sejarah Puasa Ramadhan pertama kali diwajibkan? Berikut ulasannya.

Sejarah Puasa Ramadhan pertama kali diwajibkan oleh Allah Swt untuk umat Islam terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Pada waktu itu, Rasulullah SAW baru menerima perintah memindahkan arah kiblat dari Baitul Maqdis di Palestina ke arah Masjidil Haram di Makkah. 

Namun, Puasa Ramadhan yang diwajibkan kepada umat Islam dilakukan secara bertahap. Disebutkan dalam Alquran dan Hadits Nabi SAW, ada tiga tahapan puasa Ramadhan sebelum diwajibkan kepada umat Islam. 

Puasa Ramadhan termasuk salah satu puasa wajib yang harus dilakukan oleh segenap kaum muslimin. Bulan Ramadhan ini merupakan bulan yang penuh berkah, penuh dengan ampunan Allah SWT dan rahmat-Nya. Di dalamnya terdapat malam yang lebih mulia dari seribu bulan yaitu malam lailatul qadar. Begitu pula Al Quran diturunkan pertama kali di salah satu malam pada bulan ini.

Dalil kewajiban puasa Ramadhan yakni termaktub dalam Al Quran, Surat Al Baqarah ayat 185. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (QS. Al Baqarah: 183).

Melalui ayat ini Allah Swt. ber-khitab kepada orang-orang mukmin dari kalangan umat ini dan memerintahkan kepada mereka berpuasa, yaitu menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt. Karena di dalam berpuasa terkandung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya serta membebaskannya dari endapan-endapan yang buruk (bagi kesehatan tubuh) dan akhlak-akhlak yang rendah.

Sejarah Diwajibkannya Puasa Ramadhan

Mengutip Buku Menyambut Ramadhan karya Ustadz Saiyid Mahadhir MA disebutkan, kata puasa adalah hasil terjamahan dari bahasa Arab yang diambil dari kata shaum atau shiyam.

Dalam bahasa Arab kata shaum atau shiyam diartikan dengan imsak yang berarti menahan. Di dalam Al-Quran kata shaum menunjukkan makna lebih umum ketimbang shaum yang justru sering digunkan untuk menunjukkan makna yang lebih khusus; yaitu berpuasa dengan menaham makan dan minum.

Secara istilah, puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkannya dengan cara-cara yang khusus.
Imam At-Thobari dalam Jami’ Al-Bayan menuliskan bahwa Muadz bin Jabal ra berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke Mekkah maka puasa yang dilakukan oleh beliau adalah puasa Asyura dan puasa tiga hari pada setiap bulannya, hingga akhirnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan, dan Allah menurunkan ayat-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaiman telah diwajibkan kepada umat sebelummu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-Baqarah : 183).

Hingga ayat:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin”.

Pada awalnya siapa saja yang ingin berpuasa maka ia boleh berpuasa, dan siapa saja yang ingin berbuka maka dia boleh berbuka dan cukup menggantinya dengan memberi makan orang miskin. Namun pada akhirnya Allah mewajibkan kepada seluruh yang ummat yang sehat dan tidak dalam perjalanan untuk berpuasa, tidak ada pilihan untuk berbuka, dan untuk mereka yang sudah lanjut usia tetap diberikan keringanan boleh berbuka dengan syarat tetap memberikan makan fakir miskin, maka turunlah ayat:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”

Al-Qurthubi menjelaskan, bahwa Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib berkata: Bahwa (pada awalnya) para sahabat Rasulullah saw ketika berpuasa tidak makan ketika ia tertidur sebelum berbuka hingga esoknya mereka lanjut berpuasa lagi tanpa makan.

Bahwa Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, dimana siang harinya beliau habiskan untuk mengurus pohon kurma, ketika waktu berbuka sudah hampir tiba ia datang kepada istrinya seraya menanyakan apakah ada makanan? Namun istrinya menjawab tidak ada, akan tetapi istrinya berusaha mencarikannya.

Ketika menunggu istrinya mencari makan tidak sengaja Qais ini tertidur, karena capek dari bekerja siang hari tadi. Mengetahui suaminya tertidur, maka istrinya berucap: “Celakahlah engkau!”, esok harinya Qais tetap berpuasa walau tanpa berbuka, karena tidak boleh makan ketika bangun dari tidur. Tapi di pertengahan hari berikutnya Qais malah pingsan. Lalu cerita ini sampai kepada nabi, maka turunlah ayat:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu”.

Dari sana mereka semua bergembira, lalu turun kelengkapan ayat berikutnya:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.”

3 Tahapan Puasa

Dalam kesempatan lainnya, Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim juga menjelaskan, bahwa sebenarnya proses pensyariatan puasa Ramadhan ini mempunyai kemiripan dengan proses pensyaraitan shalat, di mana keduanya melalui tiga tahapan pensyariatan.

Penjelasan ini didapat lewat riwayat Imam Ahmad melalui jalur Muadz bin Jabal, menceritakan: Bahwa pensyaritan shalat itu melui tiga tahapan dan pensyariatan puasa juga melalui tiga tahapan.

Awalnya ketika tiba di Madinah, Rasulullah saw dan para sahabat berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, dan beliau juga berpusa di hari Asyuro’, lalu kemudian turun syariat puasa Ramadhan (QS. Al-Baqarah: 183), dan ini dinilai sebagai tahapan pertama.

Namun diawal-awal puasa Ramadhan ini masih sifatnya pilihan, siapa yang dengan sengaja tanpa alasan tidak mau berpuasa mereka boleh tidak berpuasa, asalkan menggantinya dengan fidyah, tapi ketika Allah menurunkan ayatNya:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”

Maka tidak ada alasan lagi untuk tidak berpuasa, walaupun Allah tetap memberikan keringan bagi mereka yang sakit, dalam perjalanan dan lanjut usia untuk tidak berpuasa dengan cara menggantinya, baik dengan cara puasa qadha atau dengan fidyah. Sampai di sini dinilai sebagai tahapan kedua dalam syariat puasa.

Tahap ketiga yakni ketika Umar bin Khattab menceritakan bahwa dia sempat mendatangi istrinya, padahal itu dilakukankannya setelah bangun dari tidur yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. Hal ini termaktub dalam Al Quran, Surat Al Baqarah ayat 187. Allah SWT berfirman:

{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187) }

Arrtinya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al Baqarah ayat 187)

Ayat tersebut kemudian menjadi penyempurna ibadah puasa di Bulan Ramadhan.

Demikian penjelasan sejarah Puasa Ramadhan dan tahapan-tahapannya yang diwajibkan bagi Muslim.

Wallahu A'lam


Editor : Kastolani Marzuki

Follow Berita iNews di Google News