skin ads
skin ads

Teks Bacaan Inna Fatahna Lengkap dalam Maulid Diba, Arab, Latin, dan Artinya

Kastolani Marzuki · Minggu, 09 Juli 2023 - 22:02 WIB
Teks Bacaan Inna Fatahna Lengkap dalam Maulid Diba, Arab, Latin, dan Artinya
Bacaan teks Inna Fathna dalam pembukaan Maulid Diba. (Foto: ist)

JAKARTA, iNews.id - Teks bacaan Inna Fatahna Laka Fathan Mubina dalam pembukaan Maulid Diba dan Maulid Dhiyaullami merupakan potongan ayat 1-3 Surat Al Fath.

Dalam Al Quran, Surat Al Fath merupakan surat ke 48 juz 26 yang berjumlah 29 ayat. Surat Al fath termasuk Madaniyyah. Surat tersebut turun sewaktu Nabi Saw sedang dalam perjalanan pulang dari Hudaibiyah.

Imam Ahmad mengatakan Rasulullah Saw dalam perjalanannya di tahun penaklukan kota Mekah membaca surat Al-Fath di atas unta kendaraannya dan mengulang-ulang bacaannya.

Bagi Muslim yang rutin mengikuti pembacaan Maulid Dhiba dan Maulid Dhiyaullami tidak asing dengan bacaan Inna Fatahna Laka Fathan Mubiina. 

Maulid Diba merupakan kumpulan sholawat yang berisi puji-pujian dan sejarah Nabi Muhammad SAW dari lahir sampai wafat. Selain dipakai dalam pembukaan Maulid Dhiba, bacaan teks Inna fatahna juga terdapat di Maulid Dhiyaullami dan Simtudduror.

Teks Bacaan Inna Fatahna

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ 

اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ

Arab-Latin: Innā fataḥnā laka fatḥam mubīnā(n).
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepadamu kemenangan yang nyata

لِّيَغْفِرَ لَكَ اللّٰهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْۢبِكَ وَمَا تَاَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًاۙ

Arab-Latin: Liyagfira lakallāhu mā taqaddama min żambika wa mā ta'akhkhara wa yutimma ni‘matahū ‘alaika wa yahdiyaka ṣirāṭam mustaqīmā(n).

Artinya: Agar Allah memberikan ampunan kepadamu (Nabi Muhammad) atas dosamu yang lalu dan yang akan datang, menyempurnakan nikmat-Nya atasmu, menunjukimu ke jalan yang lurus,

وَّيَنْصُرَكَ اللّٰهُ نَصْرًا عَزِيْزًا

Arab-Latin: Wa yanṣurakallāhu naṣran ‘azīzā(n).

Artinya: Dan agar Allah menolongmu dengan pertolongan yang besar.

لَقَدْ جَآءَ كُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: Telah datang kepada kamu seorang utusan Alloh dari jenis kamu sendiri, ia merasakan apa penderitaanmu, lagi sangat mengharapkan akan keselamatanmu, kepada orang yang beriman senantiasa merasa kasih sayang.

 إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَه‘ يُصَلُّوْنَ عَلىٰ النَّبِيِّ يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ امَٰنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Alloh dan para malaikat-Nya selalu bersholawat untuk Nabi, wahai orang-orang yang beriman! Bersholawat dan salamlah untuknya (Nabi Muhammad saw).

Keutamaan Surat Al Fath Ayat 1-3

Dilansir dari Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al fath ayat 1-3 memiliki keutamaan hingga membuat Rasulullah SAW tersenyum dan surat yang disukai Rasulullah SAW.

Diriwayatkan dari Anas ibnu Malik radhiyallahuanhu tiga ayat pertama Surat Al Fath diturunkan kepada Nabi Saw saat kepulangannya dari Hudaibiyah. Nabi Saw telah bersabda berkenaan dengan surat tersebut: Sesungguhnya tadi malam telah diturunkan kepadaku suatu ayat (surat) yang lebih aku sukai daripada semua yang ada di muka bumi ini. 

Dalam tafsir Tahlili Kemenag, Az-Zuhri mengatakan, “Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan yang ditimbulkan oleh Perdamaian Hudaibiyyah dalam sejarah penyebaran agama Islam pada masa Rasulullah. Sejak terjadinya perdamaian itu, terjadilah hubungan yang langsung antara orang-orang Muslim dan orang-orang musyrik Mekah.

Orang Muslim dapat menginjak kembali kampung halaman dan bertemu dengan keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Dalam hubungan dan pergaulan yang demikian itu, orang-orang kafir telah mendengar secara langsung percakapan kaum Muslimin, baik yang dilakukan sesama kaum Muslimin, maupun yang dilakukan dengan orang kafir sehingga dalam masa tiga tahun, banyak di antara mereka yang masuk Islam. Demikianlah proses itu berlangsung sampai saat penaklukan Mekah, kaum Muslimin dapat memasuki kota itu tanpa pertumpahan darah.

Hudaibiyyah adalah nama sebuah desa, kira-kira 30 km di sebelah barat kota Mekah. Nama itu berasal dari nama sebuah perigi yang ada di desa tersebut. Nama desa itu kemudian dijadikan sebagai nama suatu perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir Mekah, yang terjadi pada bulan Zulkaidah tahun 6 H (Februari 628 M) di desa itu.

Pada tahun keenam Hijriah, Nabi Muhammad beserta kaum Muslimin yang berjumlah hampir 1.500 orang memutuskan untuk berangkat ke Mekah untuk melepaskan rasa rindu mereka kepada Baitullah kiblat mereka, dengan melakukan umrah dan untuk melepaskan rasa rindu kepada sanak keluarga yang telah lama mereka tinggalkan. Untuk menghilangkan prasangka yang tidak benar dari orang kafir Mekah, maka kaum Muslimin mengenakan pakaian ihram, membawa hewan-hewan untuk disembelih yang akan disedekahkan kepada penduduk Mekah. Mereka pun berangkat tidak membawa senjata, kecuali sekedar senjata yang biasa dibawa orang dalam perjalanan jauh.

Sesampainya di Hudaibiyyah, rombongan besar kaum Muslimin itu bertemu dengan Basyar bin Sufyān al-Ka‘bī. Basyar mengatakan kepada Rasulullah bahwa orang-orang Quraisy telah mengetahui kedatangan beliau dan kaum Muslimin. Oleh karena itu, mereka telah mempersiapkan bala tentara dan senjata untuk menyambut kedatangan kaum Muslimin. Mereka sedang berkumpul di Żi Ṭuwa. Rasulullah saw lalu mengutus ‘Uṡmān bin ‘Affān menemui pimpinan dan pembesar Quraisy untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau beserta kaum Muslimin. Maka berangkatlah ‘Uṡmān.

Kaum Muslimin menunggu-nunggu kepulangan ‘Uṡmān, tetapi ia tidak juga kunjung kembali. Hal itu terjadi karena ‘Uṡmān ditahan oleh pembesar-pembesar Quraisy. Kemudian tersiar berita di kalangan kaum Muslimin bahwa ‘Uṡmān telah mati dibunuh oleh para pembesar Quraisy. Mendengar berita itu, banyak kaum Muslimin yang telah hilang kesabarannya.

Rasulullah bersumpah akan memerangi kaum kafir Quraisy. Menyaksikan hal itu, kaum Muslimin membaiat beliau bahwa mereka akan berperang bersama Nabi melawan kaum kafir. Hanya satu orang yang tidak membaiat, yaitu Jadd bin Qais al-Anṣārī. Baiat para sahabat itu diridai Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat 18 surah ini. Oleh karena itu, baiat itu disebut Bai‘atur-Riḍwān yang berarti “baiat yang diridai”.

Bai‘atur-Riḍwān ini menggetarkan hati orang-orang musyrik Mekah karena takut kaum Muslimin akan menuntut balas bagi kematian ‘Uṡmān, sebagaimana yang mereka duga. Oleh karena itu, mereka mengirimkan utusan yang menyatakan bahwa berita tentang pembunuhan ‘Uṡmān itu tidak benar dan mereka datang untuk berunding dengan Rasulullah saw. Perundingan itu menghasilkan perdamaian yang disebut Perjanjian Hudaibiyyah (Sulḥul-Hudaibiyyah).

Itulah ulasan bacaan teks Inna Fatahna dalam pembukaan Maulid Diba.

Wallahu A'lam


Editor : Kastolani Marzuki

Follow Berita iNews di Google News