skin ads
skin ads
Hikmah

Ushul Fiqh: Sejarah, Kaidah, Tujuan & Manfaat Mempelajarinya

Kastolani Marzuki · Jumat, 29 Oktober 2021 - 19:25 WIB
Ushul Fiqh: Sejarah, Kaidah, Tujuan & Manfaat Mempelajarinya
Ushul Fiqh merupakan metode penggalian hukum Islam dari dalil-dalil dalam Alquran. (Foto:

JAKARTA, iNews.id - Dalilnya Mana? Pertanyaan itu kerap terdengar di masyarakat terutama jika berkaitan dengan pekerjaan ibadah. Dengan ushul fiqh, bisa diketahui apakah itu hukumnya halal, haram, sunnah, wajib atau sunnah.

Di sini letak pentingnya ushul fiqh, sejarah, kaidah serta tujuan dan manfaat mempelajarinya.

Tim Asatid Rumah Fiqih Indonesia, Ustadz Isnan Ansory menjelaskan, Ilmu Ushul Fiqih sebagaimana didefinisikan para ahlinya (ushuliyyun) adalah Ilmu pengetahuan yang membahas tentang dalil-dalil fiqih yang bersifat global, dan metode penyimpulan (hukum) dari dalil-dalil tersebut, serta kondisi (prasyarat) mustafid/mujtahid (yang memiliki otoritas dalam proses tersebut”. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa salah satu fungsi dari ilmu ushul fiqih adalah melakukan pemberian dalil –di antaranya Alquran dan Sunnah– kepada hukum fiqih. Atau ilmu yang berfungsi menganalisa sebuah dalil untuk disimpulkan hukumnya yang bersifat aplikatif (fiqih).

Ushul Fiqh ini terdiri atas dua kata, yakni “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashl” yang artinya pondasi bangunan, dan kata “Fiqh yang artinya pemahaman.

Ilmu Ushul Fiqih dikatagorikan sebagai ilmu alat yang berfungsi layaknya sebuah metodologi dalam rangka memahami teks-teks wahyu (Alquran dan Sunnah) dan tata cara interaksi yang benar terhadap wahyu.

Hal ini karena Alquran dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam, pada saat diturunkan tidaklah berbentuk sistematis dan baku layaknya sebuah ajaran yang aplikatif dan siap guna, meskipun pada masa kenabian dan shahabat telah dilaksanakan apa adanya berdasarkan arahan Rasulullah SAW sebagai penafsir Alquran pertama. 

Sebab inilah, para ulama berdasarkan bimbingan Alquran dan Sunnah merumuskan sebuah ilmu yang kemudian berfungsi untuk mensistematisasikan ajaran-ajaran Islam hingga siap guna. 

Ilmu itu kemudian dikenal dengan ilmu Fiqih, sedangkan alat untuk mensistematisasikannya dan menjadikan produk hukum dalam ilmu fiqih itu bersifat argumentatif, dikenal dengan ilmu Ushul Fiqih.

Sejarah Ushul Fiqih

Ilmu Ushul Fiqih sebagaimana rumusan ilmu-ilmu syar’i lainnya (seperti ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu bahasa Arab, dll) pada awalnya tidaklah berbentuk sistematis dan siap pakai pada awal perkembangannya. Setidaknya ilmu ini mulai terasa bersifat sistematis pada akhir abad kedua hijriyyah ketika Imam asy Syafi’i (w. 204 H) mulai merumuskannya dalam sebuah karya yang berjudul ar Risalah.

Untuk melihat sejarah perkembagan ilmu Ushul Fiqih, setidaknya bisa dipetakan menjadi beberapa fase. Pertama: Benih Ilmu Ushul Fiqih; Kedua: Sistematisasi awal Ilmu Ushul Fiqih; Ketiga: Sistemastisasi kedua ilmu Ushul Fiqih; Keempat: Masa keemasan (izdihar); Kelima: Pengembangan dalam bentuk syuruh dan mukhtasharat; dan Keenam: Pengembangan dalam bentuk taisir/tashil.

Fase pertama dalam sejarah perkembangan Ilmu Ushul Fiqih dimulai sejak masa kenabian dan berakhir pada masa awal tabi’in. Pada masa ini karya-karya Ilmu Ushul Fiqih belumlah ditemukan dan dirumuskan, namun substansi dari ilmu ini sudah teraplikasikan dengan baik dan utuh. 

Sebagaimana Alquran dan Sunnah yang merupakan objek terpenting dalam kajian Ilmu Ushul Fiqih, maka Alquran dan Sunnah sesungguhnya sudah teraplikasikan dengan sangat baik pada masa ini. Bahkan secara implisit maupun eksplisit Nabi Muhammad saw telah pula mengajarkan secara aplikatif dalil qiyas, dan bagaimana meng-ististinbath hukum dari lafal-lafal al Qur’an yang bersifat umum maupun khusus, mutlak maupun muqayyad, dll.

Ijma’ sebagai sumber hukum ketiga telah pula teraplikasikan pada masa shahabat melalaui syura yang dilakukan oleh para khalifah rasyidah. Bahkan konsep maslahah/istishlah yang di kemudian hari menjadi dalil tersendiri, secara demonstratif telah dilakukan para shahabat sebagaimana terlihat dari keputusan Abu Bakar ash Shiddiq untuk mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf, keputusan Umar bin Khathtahab dalam menciptakan sistem penjara, pajak, pengelolaan tanah-tanah rakyat hasil peperangan, demikian pula keputusan Utsman bn Affan dalam penyatuan bacaan al Qur’an, serta putusan Ali bin Abi Thalib dalam memindahkan pusat kekuasaan dari Madinah ke Kufah.

Sedangkan fase kedua dari sejarah perkembangan Ilmu Ushul Fiqih ditandai dengan terpolarisasikan manhaj istinbath hukum para ulama saat itu menjadi dua mazhab besar; Mazhab Ahlu al atsar yang berpusat di Hijaz dan Mazhab Ahlu ar Ra’yi yang berpusat di Irak. Hingga akhirnya ilmu ini mulai tersistematisasikan dalam bentuk awalnya oleh Imam Muhammad bin Idris asy Syafi’i (w. 204 H) melalui karyannya ‘ar Risalah’. 

Imam Khathib ar Ray ar Razi (w. 606 H) berkata, “Seluruh manusia sepakat bahwa orang yang pertama kali merumuskan ilmu ushul fiqih adalah imam asy Syafi’i, ialah yang mentertibkan bab-banya dan membeda-bedakan sebagian objeknya atas objek lainnya.” Dan Imam al Isnawi (w. 772 H) berkata:

"كَانَ إمامنا الشَّافِعِي رَضِي الله عَنهُ هُوَ المبتكر لهَذَا الْعلم بِلَا نزاع وَأول من صنف فِيهِ بِالْإِجْمَاع"

“Imam kami, asy Syafi’i ra adalah orang yang pertama kali menulis ilmu ini berdasarkan ijma’.


Hukum Mempelajari Ushul Fiqh

Hukum mempelajari ilmu Ushul Fiqih tergantung kepada peran setiap individu umat Islam. Bagi mujtahid atau seseorang yang hendak menjadi mujtahid/mufti maka mempelajari ilmu Ushul Fiqih adalah fardhu ‘ain.

Sedangkan bagi umat Islam secara umum yang dikatagorikan sebagai muqallid mempelajari ilmu Ushul fiqih hukumnya berkisar antara fardhu kifayah dan sunnah mu’akkadah. 

Kaidah Ushul Fiqh

Ushul fiqh berisi kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum syar'i dari sumber hukum Alquran dan Hadis secara lebih terperinci, seperti kewajiban sholat, zakat, puasa, dan haji. Kaidah tersebut bisa bersifat umum dan khusus.

Kaidah khusus itu sudah disebutkan jelas dalam Alquran, misalnya minuman keras (miras) atau khamr dan daging babi yang nyata dihukumi haram.

Manfaat dan Fungsi Ushul Fiqh

Sebagaimana penjelasan di atas, ilmu Ushul Fiqih berfungsi sebagai sebuah metodologi dalam rangka memahami al Qur’an dan Sunnah dengan benar. Di samping itu, Ilmu Ushul Fiqih sebagaimana ditegaskan oleh Abd al Karim an Namlah merupakan ilmu yang juga berfungsi untuk meluruskan kekeliruan dalam memahami nash-nash wahyu –al Qur’an dan Sunnah– sebagaimana ilmu manthiq dan logika yang berfungsi meluruskan kekeliruan dalam memaparkan sebuah argumentasi. Ini merupakan fungsi Ilmu Ushul Fiqih secara umum dalam bangunan ajaran Islam.

Sedangkan secara mendetail, fungsi Ilmu Ushul Fiqih dapat dilihat secara berbeda berdasarkan kapasitas pembalajarnya. Bagi mujtahid, maka Ushul Fiqih berfungsi layaknya sebuah metodologi dan kumpulan kaedah-kaedah syar’i dalam rangka melakukan ijtihad dan proses pemahaman yang argumentatif atas sumber-sumber hukum Islam. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab setiap problematika kehidupan manusia berbasiskan wahyu.

Adapun bagi muqallid, maka dengan mempelajari ilmu Ushul Fiqih dapat menghadirkan sebuah ketenangan jiwa ketika melaksanakan ijtihad dan produk hukum yang dihasilkan mujtahid. 

Dengan mempelajari ilmu Ushul Fiqih selain menambah pahala dalam mengamalkan produk ijtihad ulama, juga dapat berfungsi dalam rangka membantah setiap syubhat dan tasykik atas hukum Islam yang dilontarkan musuh-musuh Islam.

Wallahua’lam.


Editor : Kastolani Marzuki

Follow Berita iNews di Google News