Ketika amalan ibadah bersumber dari hadis maudhu’, maka menurut para ulama hukumnya tidak boleh mengerjakan amalan tersebut. Berbeda ketika amalan yang bersumber dari hadis dha’if (lemah) maka masih diperbolehkan mengamalkan hanya sebatas fadhailul amal (keutamaan-keutamaan amal). Dalam kitab al Adzkar karya al Imam Nawawi hal 14 dikatakan, sebagai berikut:
“Sebaiknya seseorang yang mengetahui keutamaan-keutamaan amal (fadhoilul amal) melakukan hal tersebut walaupun hanya sekali saja agar termasuk dikatakan golongan amal tersebut. Dan tidak dianjurkan untuk meninggalkan amal tersebut, akan tetapi berusaha melakukan dengan semampunya, karena berdasarkan hadis Nabi SAW.”
Menurut golongan ulama hadis, ahli fikih dan ulama lainnya mengatakan: “Boleh dan disunnahkan melakukan amal yang bersumber dari hadis dhoif selama bukan hadis maudhu’ (hadis palsu).”
Direktur Aswaja Center PWNU Jatim, Ma’ruf Khozin menjelaskan, berdasarkan keterangan Habib Abu Bakar as Segaf bahwa shalat tersebut bukan shalat Kafarat, namun shalat Qadla’. Ini adalah amalan Sayid Syaikh Abu Bakar bin Salim yang dimakamkan di ‘Inat, daerah Hadlramaut Yaman. Beliau adalah pembesar wali dan sayyid di masanya.
Namun shalat tersebut tidak boleh diniati sebagai pengganti shalat selama setahun, sebagaimana yang diharamkan oleh ulama Fikih. Para Sayyid (Habaib) hanya mengamalkannya dan menjadikannya sebagai kebiasaan di akhir Jumat bulan Ramadan karena untuk mengikuti beliau. Mereka menyesuaikan niat mereka dengan niat Sayyid Abu Bakar bin Salim yang bergelar Fakhr al-Wujud.
Pengarang kitab Sullamut Taufiq, Habib Husain bin Thahir ditanya oleh penduduk Hadlramaut tentang hal ini, beliau menjawab: “Kita taslim (menerima) terhadap amalan wali Allah. Dan kita niatkan seperti niat Sayyid Abu Bakar bin Salim. Tetapi para Habaib melarang mengajak orang-orang melakukan shalat ini di masjid, misalnya. Beliau-beliau mengamalkannya bersama keluarga di kediaman masing-masing. Khawatir ada kejanggalan dari sebagian orang.
Seumpama seperti itu adanya, yakni kemudahan mengqada shalat yang ditinggalkan dalam waktu yang lama cukup ditebus (kafarat) hanya dengan shalat sekali dalam setahun, maka dikhawatirkan yang akan terjadi kebanyakan orang islam dengan mudahnya meninggalkan kewajiban shalat 5 waktu setiap hari dengan alasan nanti cukup melakukan shalat kafarat saja. Syariat sudah mengajarkan bahwa apabila seseorang meninggalkan shalatnya baik itu disengaja ataupun tidak, maka dia berkewajiban mengganti (qada) dengan shalat di lain waktu sejumlah shalat yang ditinggalkannya.
Wajib Mengqodho Sholat
Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ahmad Sarwat MA menjelaskan, mengqadha shalat yang terlewat ini merupakan hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, tanpa kecuali. Dalam pelaksanaannya, shalat qadha ini mempunyai beberapa ketentuan dan aturan.
Dalil shalat qadha yakni hadits Nabi SAW:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي}
“Siapa saja diantara lupa melaksanakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia ingat, tidak ada tebusan selain dengan melaksanakan shalat tersebut”. (HR Bukhori).
Dalam riwayat lainnya, Imam Muslim meriwayatkan:
إذا رقد أحدكم عن الصلاة، أو غفل عنها، فليصلها إذا ذكرها
Artinya: Jika diantara kalain ada yang tertidur dari melaksanakan shalat, atau lalai (lupa) darinya, maka hendaklah dia mengerjakan shalatnya ketika dia ingat”
Editor : Kastolani Marzuki
Follow Berita iNews di Google News