Jejak Kerajaan Saung Agung di Wanayasa, Penentang Persetujuan Prabu Surawisesa dan Portugis

Asep Supiandi · Rabu, 07 September 2022 - 11:58 WIB
Jejak Kerajaan Saung Agung di Wanayasa, Penentang Persetujuan Prabu Surawisesa dan Portugis
Situ Wanayasa merupakan ikon Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta. Wilayah yang berada di lereng Gunung Burangrang ini memiliki perjalanan panjang dari masa ke masa sebagai. (Foto: Istimewa) 

PURWAKARTA, iNews.id - Wanayasa merupakan salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Purwakarta yang berada di lereng Gunung Burangrang. Kecamatan ini memiliki cerita panjang dari masa ke masa sehingga wajar jika Wanayasa disebut-sebut sebagai wilayah bernilai historis tinggi.

Memang tidak banyak data tertulis yang bisa didapatkan mengenai penduduk Wanayasa yang berasal dari masa Kerajaan Sunda ini. Termasuk daftar silsilah keluarga.

Menurut salah seorang budayawan Kecamatan Wanayasa, Budi Rahayu Tamsyah, anggapan bahwa mereka ada di sekitar daerah Wanayasa, didasarkan kepada sumber-sumber tertulis di luar Wanayasa, yakni dua naskah kuno Carita Parahiyangan dan Bujangga Manik.

Satu lagi adalah Carita Parahyangan yang bersumber pada Naskah Pangeran Wangsakerta dari Cirebon. Secara tersirat didukung pula oleh beberapa buku dan catatan yang menuturkan kisah seputar masa itu.

Pada masa-masa akhir Kerajaan Sunda abad ke-16, di daerah Wanayasa sekarang diduga terdapat kerajaan wilayah bernama Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Secara etimologis, “banaspati” mengandung arti “pohon” atau “ratu siluman di hutan”. Sedangkan kata “hyang” mengandung arti “sesuatu yang gaib” atau “dewa”.

Pendapat lain mengatakan “Ratu Hyang” atau “Rahyang” adalah tingkatan gelar dalam tatanan konsep kehidupan kepercayaan Sunda lama, yang setingkat lebih tinggi dari “Datu Hiang” atau “Dahyang”. Ratu Hyang atau Rahyang setingkat lebih rendah dari Sanghyang.

Budi juga menduga, Ratu Hyang Banaspati merupakan gelar kehormatan, mungkin karena ketinggian ilmunya, bagi seorang raja dari sebuah kerajaan yang dikelilingi oleh hutan bernama Saung Agung. Yang jelas, hutan tersebut berada di kawasan atau kaki Gunung Burangrang. Bukan di tempat lain. Karena pada bagian lain catatannya Bujangga Manik menyebutkan, Gunung Burangrang sebagai “tanggeran” (ciri tapal batas) wilayah Saung Agung. 

Noorduyns mengidentifikasi, Saung Agung berada di daerah Wanayasa sekarang. Carita Parahyangan menyebutkan, Saung Agung termasuk salah satu kerajaan wilayah yang menentang Prabu Surawisesa, penguasa Kerajaan Sunda saat itu, pengganti Prabu Jayadewata. Beberapa ahli mengidentifikasi Prabu Jawadewata ini sebagai Prabu Siliwangi. 

Perlawanan Ratu Hyang Banaspati bersama 15 ratu wilayah Kerajaan Sunda lainnya, bermula dari dari ketidaksetujuannya atas upaya persetujuan yang dilakukan Prabu Jawadewata dengan Portugis. Artinya, Kerajaan Saung Agung sudah ada pada masa Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi. 

Memang pada akhirnya Ratu Hyang Banaspati bersama dengan ke-15 ratu kerajaan wilayah lainnya dapat ditundukkan oleh Prabu Surawisesa. Tapi itu tidak berarti bahwa pada saat itu Kerajaan Saung Agung lenyap sama sekali. Pasalnya, setelah peristiwa tersebut didapat keterangan, bahwa Kerajaan Saung merupakan kerajaan wilayah Tatar Sunda yang terakhir ditundukkan oleh Kerajaan Cirebon, kemudian namanya diganti menjadi Wanayasa sebagai reduplikasi dari nama daerah yang terdapat di Cirebon.


Penaklukan oleh Cirebon tidak semata-mata untuk menguasai apalagi menghancur-leburkan suatu kerajaan atau wilayah. Namun juga sebagai bagian dari upaya untuk menyebarkan agama Islam. Bukan tidak mungkin pada saat itu sebagian penduduk Saung Agung sudah ada yang menganut agama Islam. Pasalnya, pada saat yang bersamaan di Sagalaherang sudah ada tokoh penyebar agama Islam dari Kerajaan Talaga, yakni Aria Wangsa Goparana. Sedangkan Kerajaan Talaga dapat ditaklukkan Cirebon serta sudah menjadi bagian wilayah Cirebon sekitar tahun 1630-an.

Diduga kuat penduduk Wanayasa yang berasal dari masa Kerajaan Saung Agung ini masih ada. Secara samar-samar jejaknya memang ada. Misalnya saja dengan adanya petilasan Batu Kasur di Cibeber (Kiarapedes), yang menurut keterangan masyarakat setempat dulunya
adalah tempat pemujaan. Selain itu, juga ditemukan arca Nandi di sekitar Sungai Cilamaya.

Memang sekarang tempat ditemukannya arca Nandi tersebut masuk ke wilayah administratif Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang. Namun jika melihat letak geografisnya, diduga daerah tersebut dulunya merupakan bagian, paling tidak bersinggungan dengan
Kerajaan Saung Agung. Sebuah kompleks yang mencakup Batu Tulis (menurut masyarakat setempat), Batu Kacapi, dan Batu Lawang. 

Kemudian di Kampung Panembahan (Desa Pasanggrahan, Bojong) terdapat makam Eyang Pandita, yang diduga berkaitan dengan daerah “kabuyutan” pada zaman Pajajaran. Di Kompleks Gunung Geulis (Ciracas, Kiarapedes)terdapat makam Eyang Rangga Wulung dan makam Ratu Inten Dewata, yang katanya berasal dari Pajajaran.

Tempat lainnya yang diduga ada kaitannya dengan masa-masa itu adalah daerah di sekitar Curug Cimanahrasa. Di sekitar curug terdapat sebuah dataran kira-kira seluas lapangan sepakbola, yang dikelilingi selokan (parit). Diduga merupakan parit buatan. Berada di sebuah lembah yang dikelilingi hutan pinus. Sementara di dataran tersebut nyaris tidak ada pohon besar yang tumbuh. Kompleks Curug Cimanahrasa berada tidak jauh dari Pasir Nagara Cina. Kepastiannya memang masih memerlukan penelitian lebih saksama.


Jejak lainnya tampak dari kesenian buncis. Buncis merupakan kesenian yang menggunakan alat musik (waditra) utamanya angklung. Buncis diduga kuat merupakan salah satu kesenian Sunda yang berasal dari zaman Sunda kuno. Penyebarannya meluas hampir di seluruh wilayah Tatar Sunda. 

Buncis juga terdapat di Banyumas Jawa Tengah, yang dulu merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Di daerah Wanayasa, buncis masih bisa ditemukan di daerah Sumbersari (Kiarapedes) dan Gandasoli (Wanayasa). Sedangkan di Pasir Angin (Darangdan), buncis disebut dur-ong atau dom-yang, yang dilengkapi dengan barongsay (kepala naga) ketika ditabuh dalam arak-arakan. 

Di Wanayasa sendiri, buncis merupakan seni pertunjukan. Menurut seniman tradisional setempat, sebagai seni pertunjukan buhun, buncis di Wanayasa mempunyai unsur ngalaga, ngalagu, dan ngalage. Ngalaga mengandung arti memperlihatkan kedigjayaan seperti pemain
debus. Oleh karena itu, dalam pertunjukan buncis di Wanayasa selalu ada pertunjukan kekebalan tubuh, misalnya dipukuli dengan dahan cangkring atau dahan pohon salak, makan setandan 

pisang. Ngalagu mengandung arti menyanyikan lagu-lagu yang diiringi alat kesenian buncis. Sedangkan ngalage adalah hiburan lainnya di luar ngalaga dan ngalagu seperti menari dan “ngabodor” melawak.


Masyarakat adat di Ciseureuh (Kecamatan Kiarapedes) mengaku bahwa mereka keturunan Pajajaran, yang sudah menetap di sana sejak zaman Pajajaran. Di daerah tersebut masih terdapat tujuh leuit (lumbung padi) berjejer di samping rumah ketua adatnya, yang disebut Abah Sepuh. Mereka juga masih memiliki sawah adat yang digarap bersama untuk kepentingan bersama, di antaranya untuk mengisi tujuh lumbung padinya. 

Bangunan tujuh lumbung padi yang berjejer, mengingatkan kita kepada ungkapan cerita pantun “tujuh leuit nu ngabandung” (tujuh lumbung padi yang berdampingan). Namun jika mencermati upacara adatnya yang disebut “Hajat Mulud” tampak sekali pengaruh Cirebon. Antara lain dengan dilaksanakannya upacara membersihkan benda-benda pusaka seperti halnya “Nyangku” di Panjalu dan “Panjang Jimat” di Cirebon. 

Pada kesempatan tersebut ditampilkan kesenian terebangan, dengan melantunkan lagu-lagu buhun bberbahasa Sunda. Acara terebangan dilaksanakan siang hari untuk mengiringi kaum perempuan yang sedang membuat ketupat Mulud. Perempuan yang diperbolehkan terlibat
dalam pembuatan ketupat Mulud tersebut adalah perempuan yang sudah tidak mengalami haid lagi (menopause). 

Kemudian malamnya dilanjutkan dengan acara “ngabungbang”, yakni begadang semalam suntuk membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan keadaan “nagara”. Acara tersebut, selain dihadiri oleh masyarakat adat setempat, juga dihadiri oleh beberapa perwakilan masyarakat dari daerah lain, yang secara turun-temurun menjadi pendukung acara “Hajat Mulud”.


Sebelumnya acara “Hajat Mulud” ini sangat tertutup, sehingga tidak banyak orang luar yang mengetahuinya. Baru sekitar tahun 2005 beberapa orang dari luar komunitas mereka dari Wanayasa dan Kiarapedes diundang untuk menghadiri acara tersebut.

Diduga kuat mereka merupakan kelompok masyarakat yang berasal dari masa-masa akhir Kerajaan Pajajaran di daerah Wanayasa. Mereka beragama Islam. Namun jika mencermati salah satu ritual keagamaannya, yakni “Hajat Mulud”, tampak adanya sinkretisme antara tradisi Sunda lama dengan agama Islam. Terebang (alat musik sejenis rebana), yang di daerah Cirebon dan sekitarnya disebut gembyung, merupakan alat musik yang dipergunakan untuk mengiringi syair-syair Islami berbahasa Arab, seperti petikan Kitab Barjanji. 

Dalam upacara selamatan bayi, misalnya, terebangan merupakan selingan dari pembacaan wawacan yang disebut beluk. Namun beberapa lagu buhun di Ciseureuh sepenuhnya menggunakan bahasa Sunda buhun, seperti dalam lagu “Ayun Ambing”. Tak kurang dari 17 lagu buhun terebangan di Ciseureuh yang menggunakan bahasa Sunda kuno.


Editor : Asep Supiandi

Follow Berita iNews di Google News