Melansir laman MUI dalam rubrik Hukum Konsumsi Ulat Jerman, para ulama berpendapat bahwa penetapan hukum dalam islam itu merujuk pada Alquran dan Hadits.
Dari sisi syariah, hukum makan ulat itu tidak ada di dalam Alquran dan hadits. Juga tidak ada dalil yang tegas menyatakan keharamannya.
Dengan demikian dalam kaidah syariah, mengonsumsi ulat sagu itu termasuk kategori yang didiamkan. Maksudnya, sepanjang tidak dijelaskan dengan tegas tentang keharamannya atau tidak menjijikkan maupun tidak mendatangkan bahaya bagi yang mengonsumsinya maka ulat sagu boleh dikonsumsi.
Para ulama menafsirkan hal yang didiamkan itu beraryi Ma'fu Anhu atau hal yang dimaafkan. Artinya, dibolehkan atau halal hukumnya kecuali dipandang menjijikkan atau membahayakan bagi yang mengonsumsinya.
Hal itu juga berlaku kaidah hukum bersifat umum yaitu kemaanfaatan dan kemaslahatan. Sepanjang mendatangkan kebaikan diperbolehkan. Sebaliknya jika membahayakan makan terlarang.
Dikutip dari buku Fikih Makanan dan Minuman Kontemporer, ulat pada dasarnya haram dimakan menurut jumhur ulama selain Mazhab Malikiyah. hal tersebut dikarenakan ulat termasuk hewan yang khabaits (menjijikan). Namun, jumhur ulama selain hanafiyah menghukumi ulat yang ada pada makanan dan buah-buahan boleh dimakan apabila kesulitan memisahkannya.
Dalam pandangan Mazhab Syaf''i dan Hanbali, kehalalan memakan ulat yang ada pada makanan atau buah-buahan tersebut harus memiliki tiga syarat. Pertama, dimakan bersama makanan baik dalam keadaan hidup maupun sudah mati. Jika dimakan tanpa bersamaan dengan makanan maka tidak halal. Kedua, ulat tersebut tidak dipisahkan dari makanan. Jika dipisahkan dari makanan tidak boleh dikonsumsi. Ketiga, tidak berubah rasa, warna dan baunya apabila makanan tersebut berbentuk cair.
Dalam Al-Qur’an dan hadits, panduan tentang makanan cukup jelas, namun serangga seperti ulat sagu jarang disebutkan secara langsung. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita merujuk pada kaidah fiqh: "Segala sesuatu pada dasarnya halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
melaansir laman bio.fst.uin-alauddin.ac.id, ulat sagu, meski tidak diatur secara eksplisit, tidak termasuk kategori hewan yang dilarang seperti babi atau yang hidup di tempat najis. Seperti belalang, yang diizinkan untuk dikonsumsi dalam hadits Nabi Muhammad SAW, ulat sagu juga hidup di lingkungan bersih, tidak berbahaya, dan sarat nutrisi.
Hadits yang menyatakan, "Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai, yaitu ikan dan belalang" (HR. Ibnu Majah) menjadi dasar kuat bagi ulama untuk membolehkan konsumsi serangga dalam kategori tertentu.
Editor : Kastolani Marzuki
Follow Berita iNews di Google News