Ulat sagu, yang seperti belalang tidak mengandung darah yang dilarang dalam Islam, menawarkan karakteristik serupa-keduanya hidup di alam, aman, dan bergizi. Oleh karena itu, analogi dengan belalang dapat diambil untuk memposisikan ulat sagu sebagai makanan halal.
Beberapa mazhab, seperti Mazhab Maliki, bahkan memperbolehkan serangga yang hidup di lingkungan bersih dan tidak menimbulkan bahaya bagi tubuh. Ini memperkuat spekulasi bahwa ulat sagu, yang hidup di alam bebas dan tidak terkait dengan najis, dapat dikategorikan sebagai halal, selama diproses dengan cara yang sesuai syariat. Sementara itu, Mazhab Hanafi dan Syafi'i cenderung lebih ketat, mengharuskan adanya dalil yang lebih spesifik untuk memperbolehkan serangga, meskipun dalam situasi tertentu, manfaat yang diberikan oleh ulat sagu, terutama dalam hal nutrisi, dapat membuka jalan bagi kelonggaran hukum.
Dari segi thayyib, ulat sagu menawarkan lebih dari sekadar protein. Ia adalah sumber nutrisi yang kaya, dengan asam amino esensial dan lemak sehat yang dapat membantu memerangi malnutrisi di berbagai belahan dunia. Selain itu, ulat sagu adalah jawaban bagi pencarian sumber protein yang berkelanjutan.
Dengan kebutuhan lahan dan air yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan peternakan hewan besar, serangga ini adalah wujud dari keadilan alam: kecil, namun penuh berkah.
Dalam ulat sagu ini, kita melihat peluang besar untuk memperkuat ketahanan pangan dunia, mengurangi ketergantungan pada sumber protein konvensional yang merusak lingkungan, dan menciptakan ekonomi baru bagi masyarakat lokal.
Dalam Islam, makanan adalah bagian dari keberkahan hidup. Memilih makanan yang halal, yang baik bagi tubuh dan bumi, adalah bagian dari ibadah kita. Dan mungkin, di dalam ulat sagu yang kecil ini, terdapat berkah yang selama ini kita abaikan.
Ulat sagu memang bagi sebagian orang mungkin dipandang menjijikan. Jika termasuk barang khobaits atau menjijikan maka hukumnya haram untuk dikonsumsi. Sebaliknya, jika tidak dipandang menjijikan maka halal dikonsumsi.
Menjijikan memang relatif dalam pandangan setiap orang. Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mengonsumi ulat sagu adalah halal. al itud iqiyaskan atau disamakan dengan makan ulat jerman, serangga Cochineal ataupun laron yang telah difatwakan halal oleh Komisi Fatwa MUI.
Menurut Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana, belalang dan ulat sagu adalah sumber protein. Terlebih, dua serangga itu adalah makanan yang biasa dikonsumsi di beberapa wilayah di Indonesia.
"Mungkin saja ada satu daerah suka makan serangga (seperti) belalang, ulat sagu. Itu bisa jadi bagian protein," kata Dadan, kemarin (25/1/2025).
Dadan juga menilai, sumber protein bisa datang dari mana saja. Karena itu, BGN tidak menetapkan sumber proteinnya apa, melainkan standar komposisi gizinya.
"Isi protein di berbagai daerah itu sangat bergantung protein sumber daya lokal dan kesukaan lokal," ujarnya.
Mengacu pada hal itu, masyarakat perlu tahu bahwa belalang dan ulat sagu memang tergolong dalam sumber protein. Selain itu, belalang juga memiliki efek antibakteri.
Mengonsumsi belalang goreng dipercaya juga dapat meningkatkan energi. Bahkan, dapat menurunkan kadar kolesterol, karena kandungan lemak tak jenuhnya yang tinggi.
Editor : Kastolani Marzuki
Follow Berita iNews di Google News